Mendapatkan bayi kembar adalah anugerah sekaligus hadiah spesial bagi sebuah keluarga. Bagaimana tidak, menjadi seorang ibu dari seorang bayi yang dilahirkannya saja sudah merupakan pengalaman yang berharga, terlebih lagi dikaruniai bayi kembar. Kalimat semua dunia tertuju padamu sepertinya tepat untuk mewakili apa yang saya rasakan saat ini. Setiap detik terasa bagai sebuah momen yang tak pernah habis untuk diabadikan. Selalu ada cerita, baik itu bahagia ataupun lelah. Istilahnya, dobel capeknya dobel juga bahagianya.

Hari-hari awal yang saya lalui bersama suami begitu melelahkan, bahkan rasanya badan kami serasa setengah hidup demi merawat bayi kembar kami. Bayangkan saja, saya dan suami notabene adalah mahasiswa Al-Azhar yang sudah pasti memiliki banyak kegiatan akademis yang harus diselesaikan. Saya sendiri belum selesai S1, sedangkan suami harus mengejar target tesisnya, belum lagi pekerjaan rumah yang setiap hari menanti. Kami harus memandikan bayi harus berdua, bolak-balik hammam, gonta-ganti popok berkali-kali, menyusui nonstop, ditambah kalau mereka menangis bersamaan yang membuat kepala serasa mau pecah. Malam-malam yang kami lalui dengan sedikit istirahat, satu tertidur, yang satunya terbangun, begitu seterusnya. Benar-benar letih diatas letih. Nyaris tak ada waktu untuk diri sendiri.

Ketika ujian hampir tiba, saya harus mencari cara untuk mencuri waktu membaca muqarrar. (diktat kuliah). Sayapun harus rela menyusui sambil membaca dan menghapal halaman demi halaman yang terbuka di dekat bayi saya. Sebelum berangkat imtihan, lagi-lagi saya harus memberikan si kembar nutrisi lebih dulu, biasanya masing-masing setengah jam. Bahkan terkadang saya menyusui sambil sarapan, hehe, hebat, kan?! Belum lagi kalau saya pulang dengan badan dan otak yang letih, mereka sudah menanti saya untuk makan siang. Begitulah kondisi bulan-bulan pertama kami bersama Sikembar, sampai kami merasa bahwa Allah seakan memberi kami dua nyawa, dua simpanan kekuatan.

Ketika Si kembar Azka dan Ahda menginjak enam bulan, saya sudah tak mampu lagi memberikan full-ASI. Saya dan suami memutuskan untuk memberikan susu formula disamping makanan tambahan lainnya. Disinilah episode baru dimulai. Saya bersyukur karena ternyata perkembangan bayi kembar itu sangat pesat. Di usia enam bulan, otot mereka sudah sangat kuat, merangkak dan berdiri dengan lincah, gigi yang mulai tumbuh, dan perhatian mereka yang antusias terhadap lingkungannya. Menyadari hal ini, setiap hari kami pun memberikan nutrisi plus berupa nutrisi otak mereka. Pagi hari kami berusaha menyempatkan diri untuk membacakan surah-surah pendek dan betapa senangnya melihat mereka begitu menyimaknya. Saya memasang gambar abjad dan alphabet dan membacakan mereka sambil menunjuk gambarnya. Kami harus rela tayangan youtube berganti video lagu kesukaan mereka yang nyaris setiap hari mereka dengar. Acara browsing dan chatting tak luput diinterupsi aksi mereka.

Disini pula kami menyadari betapa banyaknya biaya yang harus kami keluarkan. Susu formula yang tiap 3-4 hari sudah harus beli lagi. Popok (pampers) yang begitu cepat habis. Belum lagi pakaian mereka yang semuanya serba bayar dobel, hehe. Selain itu, kami berdua terutama saya, harus mendapatkan nutrisi lebih karena tenaga yang terkuras untuk merawat mereka. Saya bahkan wajib makan empat sampai lima kali sehari. Wow!

Kalau saya ditanya, apa sih sukanya memiliki bayi kembar? Mungkin satu majalah pun tak akan cukup untuk mengupasnya. Bahkan cerita bahagia kami bisa saja dijadikan sebuah novel. Alhamdulillah, sampai hari ini, saya dan suami masih selalu tersenyum jika harus menjawabnya. Ada banyak momen indah, bahagia, dan suka-cita yang tak mampu untuk sekedar dibahasakan. Intinya, rasa capek, lelah, dan tenaga yang terkuras semuanya hilang tertutupi rasa bahagia.azka dan ahda

Sekarang mereka suka sekali berteriak, berceloteh dan bermain. Rasa stress dan sumpek akan hilang ketika menyaksikan mereka asyik bermain. Ketika Si kembar lapar, mereka akan merengek-rengek dengan cara menarik baju saya, memanjat punggung ayahnya yang sedang tertidur, menangis manja yang dibuat-buat, dan berbagai aksi mereka yang lucu.

Kami bersyukur dianugerahi dua sosok bayi yang imut dan lincah. Kami tak perlu berebut untuk menggendong dan menimang bayi kami. Ibu punya satu dan Ayah punya satu, seru sekali! Kami tak perlu susah-payah mencarikan teman bermain, mereka pun bermain bersama. Secara otomatis mereka belajar banyak hal yang lebih cepat mereka dapati dibanding anak yang tidak kembar lainnya, seperti belajar berteman, bagaimana rasanya berbagi, belajar antri, mengenal makna adik dan kakak, mengindentifikasi perbedaan pakaian mereka, dan berkompetisi. Itulah sebabnya, meski badan mereka tak sebesar anak lainnya, perkembangan motorik dan intelektual mereka sangatlah cepat.

Begitu mengagumkan rasanya saat saya menemani mereka bermain dan bercerita kemudian dengan cermat memperhatikan gerak-gerik keduanya. Ada geli sekaligus takjub bahwa penciptaan Allah begitu hebat, begitu sempurna. Dari perut seorang ibu yang tak begitu luas, Allah menjadikan mereka hidup didalamnya selama berbulan-bulan tanpa harus bertabrakan dan berdesakan. Wajah mereka yang mirip, senyum yang sama, membuat saya tak henti-henti bertasbih…subhanallah! Mengamati bagaimana keduanya saling tarik-menarik mainan, berlomba mengejar bola, main ayunan, sampai hal sekecil apapun menjadi kesan mahal yang jarang dimiliki ibu lain. Saya sekali lagi bersyukur menjadi ibu dari bayi kembar seperti mereka.

Saya juga sadar, di balik anugerah yang kami dapatkan ini, terselip ujian yang harus kami hadapi. Innamaa amwaalukum wa aulaadukum fitnah, demikian bunyi firmanNya. Ya, anak adalah ujian! Ketika kami berinteraksi dengan keluarga lainnya, kami harus menjaga hati. Anak kembar adalah anak spesial, itu tak dapat kami pungkiri. Saat keduanya menjadi pusat perhatian, bagaimana mereka mendapatkan pujian, sedikit-banyak membuat kami merasa tidak nyaman dengan keluarga lain yang juga membawa anak-anak mereka.

Ujian rasa bangga dan riya’ juga harus kami tepis. Si kembar dengan aksi mereka menjadi objek kamera, jepret sana jepret sini. Saya sebagai ibu mereka bukan tak senang, saya bahkan sangat senang. Ibu siapa tak senang anak mereka dipuji orang-orang? Namun, saya merasa bahwa beban tanggung-jawab untuk mendidik mereka menjadi anak shaleh, rendah hati, dan ramah sangat besar. Saya seringkali takut semua itu akan mempengaruhi perkembangan emosi dan mental mereka. Belum lagi masa depan mereka berdua, jenjang pendidikan yang otomatis bersamaan, membuat saya selalu berdoa untuk itu semua.

Satu hal penting yang saya pegangi selama belajar menjadi seorang ibu bahwa semua ini membutuhkan sebuah proses dan proses itu tidak ditempuh secara instan, bukan? Usia saya begitu muda dan saya sudah dikaruniai dua anak. Sampai sekarang beberapa teman menyebut saya ibu muda-lah, ibu mungil-lah, bahkan tak sedikit orang Mesir yang tak percaya dengan tega berkata musy mumkin, inti lissa sugayyarah! (artinya mustahil, kamu kan masih kecil!).

Semua pengalaman ini, secara tidak langsung, memberi saya pengetahuan bagaimana belajar memanage emosi, meredam rasa kesal dan marah, menjadi wanita berfikir dewasa dan pelajaran lainnya. So, siapa takut punya anak kembar! 😉